(Spoiler Alert!)
Kira-kira beberapa hari yang lalu, saya dan teman-teman saya menyempatkan waktu untuk menonton film terbaru garapan sutradara sekaligus penulis Wregas Bhanuteja. Saya familiar dengan Wregas Bhanuteja melalui film Penyalin Cahaya yang tayang di Netflix pada 2021 lalu. Awalnya saya tak begitu mengikuti release film Budi Pekerti ini. Kebetulan beberapa waktu lalu, cuplikan dari promosi film berseliweran di beranda sosial media saya.
Saya tak begitu melihat orang-orang di belakangnya, lebih kepada para pemain yang menurut saya epic. Saya melihat Sha Ine Febriyanti, Dwi Sasono, Angga Yunanda dan Prilly Latuconsina dalam satu frame! Pun cuplikan dari trailer filmnya juga yang membuat saya ingin segera menyaksikannya di bioskop. Saat itu, hujan cukup deras tapi kami tetap menerobos hujan untuk nonton ke bioskop. Tidak berekspektasi besar, saya awalnya hanya ingin melihat ke empat aktor di atas beradu akting dalam satu bingkai layar bioskop.

Akhirnya, setelah menonton film yang berdurasi hampir satu setengah jam tersebut, saya dibuatnya merenung. Cerita yang dirangkum dalam alur yang mengalir namun memiliki intisari yang sungguh kompleks dan sulit untuk ditelan sebab terlalu banyak hal yang begitu tak asing dengan yang terjadi di kehidupan yang nyata ini. Hal itu diperparah karena potret yang tergambar dalam setiap scene dan adegan begitu terasa real karena ada kejadiannya nyatanya. Membuat saya mengumpat dalam hati, mengecam para antagonis yang begitu tidak adilnya dalam cerita tersebut. Belum lagi di 30 menit terakhir, saya dibuatnya merasa berkecambuk dan konflik batin dalam menerima maksud dari 30 menit cerita di akhir.
Pertarungan Ego dalam film ini begitu sengit. Nilai-nilai moral yang hancur menerjang realita. Sampai-sampai realita menjadi sebuah kepulan asap yang membuat orang bisa saja salah melihatnya. Ada hal-hal yang tak seperti yang terlihat di permukaannya saja. Yang lebih parahnya lagi, orang-orang berbicara soal realita yang minim kebenarannya. Dan apa yang dibicarakan ternyata bisa menghancurkan orang-orang yang dibicarakan. I was like “What the hell?!”
Di dunia ini, saat ia dipenuhi oleh seseorang seperti tokoh Bapak Kepala Sekolah, Gaung Tinta, Anggota Band Tita, maka jadilah Bu Parni yang tak menjeremuskan seseorang pada narasi yang salah hanya demi menyelamatkan dan menguntungkan diri sendiri. Oleh sebab itu, sebab dan akibat perlu diperhitungkan. Benar ya benar saat tak ada yang melakukannya, dan salah adalah salah walaupun semua orang melakukannya. Berhati-hati dalam penggunaan jejaring sosial, kita bertanggungjawab atas apa yang telah kita bagikan di jejaring sosial. Sebuah Narasi yang salah, bisa aja menghancurkan hidup seseorang, dalam film ini: satu keluarga.
Endingnya? Teman saya mengatakan bahwa ending filmnya kurang bagus karena ia tak meilihat kemenangan dari si protagonis di akhir film. Saat itu saya hanya tersenyum, sebab menurut saya ending yang disajikan sudah sangat pas dengan alur cerita. Wregas Bhanuteja really finished it strong! Menurut saya, film ini adalah salah satu film Indonesia terbaik yang pernah saya saksikan di layar lebar.
Bagi yang penasaran soal konflik seperti apa yang terjadi di film ini, sampai tulisan ini diterbitkan, film Budi Pekerti masih tayang di Bioskop!